FIQIH PANDEMI BERIBADAH DI MASA WABAH
A. SHALAT
JUMAT
a. Argumen Mengganti Jumatan dengan Shalat Dhuhur di Rumah
Melaksanakan
shalat Jumat bagi umat Islam yang berjenis kelamin laki-laki, baligh, berakal,
sehat (tidak sakit atau tidak terhalang uzur), muqim (bukan dalam perjalanan)
hukumnya fardhu ‘ain. Ketika ada uzur seperti sakit, hujan lebat, ataupun
pandemi maka kewajiban shalat Jumat gugur. Terkait merebaknya Covid-19,
diharamkan bagi yang terpapar Covid-19 menghadiri shalat Jumat (termasuk shalat
jamaah) dengan dalil hadits, “Jangan yang sakit bercampur-baur dengan yang
sehat” (HR. al-Bukhari & Muslim).
Hadits lain,
“Jika kalian mendengar kabar tentang merebaknya wabah Tha’un di sebuah
wilayah, janganlah kamu memasukinya. Dan, jika kalian tengah berada di
dalamnya, maka janganlah kamu keluar darinya”. (HR. al-Bukhari & Muslim).
Bagi yang berhalangan shalat Jumat, ia menggantinya dengan shalat dhuhur empat
rakaat. Adapun menggantinya dengan shalat Jumat di rumah itu tidak dibolehkan
dengan pertimbangan bahwa tujuan shalat Jumat adalah berkumpulnya banyak orang
di sebuah tempat (masjid), sebagaimana makna semantik dari kata jum’ah yang
berarti “berkumpulnya banyak orang” (ijtima’ alnas). Jumatan di rumah juga
tidak dibolehkan menurut Imam Abu Hanifah karena rumah bukanlah tempat umum.
Imam Malik juga tidak membolehkan jumatan di rumah dengan mensyaratkan jumatan
harus di masjid. Imam al-Syaf i’i dan Imam Ahmad juga tidak membolehkan jumatan
di rumah karena mensyaratkan jumlah yang hadir minimal 40 orang yang
berkategori wajib jumatan. Dengan begitu, yang berhalangan shalat Jumat karena
ada uzur seperti Covid-19 Menggantinya dengan shalat dhuhur empat rakaat di
rumah. Pahalanya sama dengan pahala shalat Jumat. Dalilnya adalah hadits, “Jika
seorang hamba tertimpa sakit, atau tengah bepergian, maka ia dicatat memperoleh
(ganjaran) serupa ketika ia melakukannya dalam kondisi muqim dan sehat”. (HR.
al-Bukhari).
b. Meninggalkan Shalat Jumat Berkali-kali
Selama
Merebaknya Pandemi Tidak jumatan bagi yang wajib Jumat tanpa uzur yang
dibenarkan oleh syariat adalah tergolong dosa. Sejumlah riwayat hadits
menyebutkan tentang itu, di antaranya “Siapa yang meninggalkan tiga kali shalat
jumat karena meremehkan, niscaya Allah SWT menutup hatinya”. (HR. alTurmudzi,
al-Thabarani, dan al-Daruquthni). Hadits lain menyebutkan, “Siapa yang
meninggalkan shalat Jumat tiga kali tanpa uzur, niscaya ia tergolong orang
munafiq” (HR. al-Thabarani).Beribadah di Masa Wabah redaksi kedua hadits
tersebut terutama pada kata tahawunan biha dan bila udzr.
Keduanya
menggariskan bahwa meninggalkan shalat Jumat yang dimaksudkan adalah karena
“meremehkan” dan “tanpa uzur”. Ketika tidak jumatan bukan karena meremehkan
atau karena adanya uzur, maka itu bukan yang dimaksud dalam hadits tersebut.
Beberapa uzur yang membolehkan tidak jumatan adalah hujan lebat yang sekiranya
dapat membasahi pakaiannya dan menghalanginya melakukan shalat, salju, cuaca
yang sangat dingin, sakit yang menyulitkannya ikut berjamaah di masjid,
kekhawatiran adanya gangguan keselamatan jiwa, kehormatan diri, dan harta bendanya
jika ia ikut jumatan. Covid19 tergolong salah satu uzur karena kekhawatiran
menulari atau tertular virusnya ketika ikut jumatan yang notabene mengharuskan
dilaksanakan berjamaah. Jangankan tiga kali, lebih dari itu pun jika memang
kondisi merebaknya Covid-19 belum _berubah ke situasi yang aman, maka tidak
melaksanakan jumatan diganti dengan shalat dhuhur empat rakaat di rumah
masingmasing. Ini adalah keringanan atau dispensasi (rukhshah) dalam syariat
Islam jika terdapat uzur
B. SHALAT DI
MASJID
a. Azan Shalat Rawatib dari Masjid
Pada dasarnya,
mengumandangkan azan dan iqamah merupakan syiar Islam, di samping sebagai
pemberitahuan tanda masuknya waktu shalat fardhu bagi umat Islam. Hukum
dasarnya adalah sunnah. Bahkan, menurut Mazhab al-Syafi’i dan Hanbali, azan dan
iqamah pun dianjurkan ketika hendak shalat sendirian (munfarid), meski dengan
suara pelan yang cukup didengarkan oleh diri kita sendiri. Persoalannya adalah
bagaimana mengumandangkan azan di saat adanya pandemi semisal Covid-19 saat
ini, di mana terdapat imbauan dari Pemerintah Beribadah di Masa Wabah Majelis
Ulama Indonesia (MUI) atas masukan dari ahli kesehatan untuk menerapkan
pengaturan jarak fisik ataupun sosial (physical/ social distancing) agar dapat
memutus rantai penyebaran Covid-19.
Di satu sisi,
kumandang azan adalah panggilan untuk shalat berjamaah (hayya ‘ala shalah). Di
lain sisi, kita dilarang berjamaah di masjid karena tentu akan mengumpulkan
banyak orang yang melanggar penerapan physical distancing. Sebenarnya, bagian
tertentu di lafal azan pada masa pandemi dapat saja berubah, misalnya lafal
“hayya ala shalah” diganti dengan redaksi shallu fi buyutikum atau shallu fi
rihalikum yang artinya “shalatlah di rumah atau kediaman kalian”, sebagaimana
diriwayatkan sahabat Ibn ‘Abbas. Adapun sahabat Ibn ‘Umar mengumandangkan azan
sebagaimana biasanya kemudian menambahkan dengan lafal shallu fi buyutikum atau
shallu fi rihalikum di akhir azan.
Tentu saja,
perlu pemakluman kepada masyarakat tentang ini secara cermat. Kontroversi alias
komentar ketidaksetujuan dari yang belum mengetahui kebolehan azan seperti ini
akan muncul. Perlu pemakluman juga bahwa kumandang azan dalam kondisi pandemi
Covid-19 seperti ini hanya berfungsi sebagai penanda masuknya waktu, bukan
panggilan untuk berjamaah di masjid. Karena tujuan utama penambahan lafal
demikian adalah agar tetap shalat di rumah, masyarakat atau jamaah masjid
sekitar yang sudah memahami dan patuh untuk tidak shalat berjamaah di masjid,
azan tetap dikumandangkan seperti biasanya tanpa perubahan ataupun penambahan
lafal seperti di atas. Kita diminta untuk shalat di rumah masing-masing secara
berjamaah dengan anggota keluarga. Dalam kondisi darurat seperti ini, kebiasaan
berjamaah dan niat tulus kita untuk shalat berjamaah di masjid akan dihitung
berjamaah di masjid meski kita hanya melakukannya di rumah.
b. Shalat Berjamaah di Masjid
Pada
dasarnya, hukum dasar shalat berjamaah adalah sunnah mu’akkadah. Adapun menjaga
jiwa dari tertularnya virus yang mematikan hukumnya wajib. Memprioritaskan yang
wajib daripada yang sunnah adalah lebih baik. Jika ada yang tetap melaksanakan
shalat berjamaah di masjid dengan jarak makmum berjauhan dengan niat
menghindari kontak fisik, itu dapat mengurangi keutamaan shalat jamaah kita.
Shalat berjamaah mensyaratkan rapih dan rapatnya shaf (taswiyah al-shufuf).
Ulama Hanaf i, Maliki, Syaf i’i, dan Hanbali menyatakan hukum taswiyah shufuf
adalah mustahab, bukan wajib, sehingga sehingga meninggalkan kerapihan dan
rapatnya shaf dalam shalat jamaah tidak membatalkan shalat.
Salah satu
argumentasinya adalah lafal hadits “kerapihan shaf adalah bagian dari
_kesempurnaan shalat” (HR. al-Bukhari). Kata tamam yang berarti “kesempurnaan”
adalah bersifat tambahan, di luar dari yang semestinya, sehingga tidak
membatalkan shalat jika meninggalkannya.Meski ada ulama yang membolehkan shaf
jamaah yang renggang dalam kondisi darurat, namun sikap hati-hati kita harus
lebih diutamakan. Banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan semisal belum
adanya jaminan siapa yang sudah atau tidak tertular dari jamaah yang hadir, dan
adanya pengidap yang tanpa gejala, dan selainnya. Kita perlu memahami dengan
baik maksud hadits “Hindarilah wabah penyakit seperti larimu (menghindari)
kejaran macan” (HR. al-Bukhari). Kita diminta menghindari semaksimal secara
serius penyakit, terlebih virus Covid-19 yang sangat mudah menular dan
mematikan ini. Hadits lain menyebutkan “Bagi yang makan bawang merah atau
bawang putih, hendaknya ia menjauhi kami atau menjauhi masjid kami” (Muttafaq
‘Alaih). Maksudnya, bukan makan bawang merah atau bawang putih yang terlarang,
tetapi baunya yang dapat mengganggu jamaah yang lain.
c. Menutup Masjid
Di sejumlah
negara, pemerintah setempat atas masukan ulama mengimbau menutup masjid untuk
menghindari penyebaran Covid-19. Tentu saja, kebijakan tersebut tidak bermaksud
merendahkan wibawa masjid sebagai rumah Allah SWT dan tempat ibadah umat Islam,
apalagi menstigma masjid sebagai tempat penyebaran virus, karena jamaahnya
berwudhu sebelum memasukinya, kebersihannya terjaga, dan selainnya. Poinnya bukanlah
melarang shalat ataupun beribadah di masjid, tetapi mencegah berkumpulnya
banyak orang ataupun menghindari kontak fisik di masa merebaknya pandemik
Covid-19 ini. Ini sejalan dengan hadits “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan
dengan yang sehat” (HR_Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah). Rasulullah SAW
juga bersabda, “Siapapun yang mendengar seruan, tidak ada yang bisa mencegahnya
kecuali uzur. Seseorang bertanya apa aja uzur itu? Rasulullah menjawab, “Rasa
takut dan sakit” (HR. Abu Dawud). Merujuk pada sejarah, Masjidil Haram pernah
ditutup pada 827 H akibat wabah yang melanda Mekkah yang menelan korban jiwa
sebanyak 1.700. Ibn Hajar al-‘Asqalani juga mencatat persitiwa merebaknya wabah
Tha’un di Damaskus pada 749 H yang mengkritisi praktik warga dan pemuka
masyarakat yang berkumpul untuk melaksanakan doa bersama karena justeru yang
terjangkiti wabah Tha’un pun meningkat tajam setelahnya. d. Qunut Nazilah
Secara semantik, qunut berarti “ketaatan”, “shalat”, “diam”, “berdiri”, dan
“berdoa”.
Dalam arti “doa”
inilah yang lebih dikenal. Secara syariat, qunut berarti “nama dari sebuah doa
yang dibacakan di waktu berdiri dalam shalat pada waktu tertentu”. Adapun arti
nazilah yaitu musibah yang menimpa, seperti adanya pandemi, kekeringan, bahaya
yang meliputi kaum Muslimin, baik secara keseluruhan maupun di kawasan
tertentu. Pembacaan doa qunut nazilah di tengah merebaknya Covid-19 yang
menyerang banyak kaum muslimin di banyak negara sangat baik untuk dilaksanakan
setiap waktu shalat, terlebih telah dianjurkan oleh MUI atas pertimbangan
Covid-19 ini sudah masuk kategori musibah besar yang menimpa kaum
Muslimin.
Qunut Nazilah
pertama kali dicontohkan Rasulullah SAW setelah peristiwa pembantaian 70
sahabat dari kalangan Anshar yang diutus ke Najd di Bi’r Ma’unah tahun IV H.
Hukumnya Sunnah menurut Mazhab Syaf i’i. Dalilnya adalah hadits,“Sungguh
Rasulullah SAW membaca doa qunut (nazilah) selama sebulan karena (tragedi)
terbunuhnya para Qurra’ (ahli alQur’an)”. (HR. al-Bukhari & Muslim). Adapun
bacaan doa qunut nazilah tidak ada bacaan tertentu, sehingga dapat dibacakan
doa sesuai konteksnya. Namun, lebih baik jika membaca doa qunut shalat subuh
yang populer. Dalam shalat berjamaah, baik shalat dengan bacaan jahr (subuh,
magrib, dan isya) maupun sirr (zhuhur dan ashar) imam membaca doa qunut nazilah
secara jahr (suara yang terdengar), sedangkan makmum mengaminkan tanpa perlu
membaca doa qunut secara mandiri.[] e. Mengenakan Masker dalam Shalat Dalam
shalat, terutama saat sujud, terdapat tujuh anggota badan yang merapat ke
lantai tempat shalat. Ketujuh anggota badan tersebut adalah dahi termasuk
hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua jari kaki. Terkait
hidung, ada yang memasukkannya sebagai bagian dari dahi dan ada juga yang tidak
memasukkannya. Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ menyatakan makruh shalat
menggunakan litsam (atau bahasa kekinian kimamah/ masker), dengan dalil bahwa
“Rasulullah SAW melarang seseorang shalat dengan menutup mulut” (HR. Abu
Daud).
Dalam situasi
pandemi Covid-19, penggunaan masker sangat penting dilakukan untuk mencegah
masuknya virus ke dalam mulut dan hidung. Sementara itu, lantai tempat shalat
terkadang tidak bisa dipastikan apakah terdapat virus di atasnya atau tidak.
Dalam kaidah fiqhiyah ditegaskan bahwa pencegahan bahaya terhadap bahaya lebih
diprioritaskan. Atas dasar itu, penggunaan masker saat shalat di tempat yang
tidak bisa dipastikan steril dapat dibenarkan. Kondisi darurat membolehkan
penggunaannya. Adapun jika dipastikan bahwa tempat shalat tersebut steril, maka
penggunaan masker tidak perlu dan tidak dianjurkan. Karena masker tidak
termasuk hiasan (zinah) yang dianjurkan saat menghadiri atau melaksanakan
shalat.
Menggunakan Hand
Sanitizer Hand sanitizer adalah cairan atau gel yang biasa digunakan untuk
mengurangi agen infeksi pada tangan. Penggunaan hand sanitizer merupakan opsi
karena cara kerjanya mirip dengan mencuci tangan dengan sabun. Kedua cara ini
sangat dianjurkan untuk menghindari paparan virus, bakteri, dan kuman. Salah
satu bahan aktif yang digunakan dalam sanitizer adalah alkohol. Terdapat
beberapa kalangan yang mempertanyakan hukum shalat dengan wewangian, termasuk
hand sanitizer, yang mengandung alkohol. Ulama berbeda pendapat tentang
alkohol, sebagian menganalogikan (qiyas) dengan khamr, sebagian lainnya tidak
menganalogikannya demikian.
Kenajisan khamr
juga diperselisihkan ulama. AlSyawkani menyatakan bukan najis. Dalam hal ini,
MUI sudah memberikan fatwa pada tahun 2009 bahwa pada prinsipnya hukum alkohol
bergantung pada proses pembuatannya. Jika dibuat atau dihasilkan dari
bahan-bahan najis, maka hukumnya haram untuk digunakan. Adapun jika terbuat
dari bahan-bahan yang bukan najis, maka boleh digunakan. Atas dasar itu,
dibolehkan menggunakan hand sanitizer saat hendak melaksanakan shalat. Bahkan
sangat dianjurkan jika terdapat kekhawatiran adanya virus yang menempel di
tangan. Hanya saja, penggunaan yang berlebihan terhadap sanitizer ini tidak
dianjurkan karena memiliki efek samping pada kulit. Kebanyakan pakar lebih
mengutamakan penggunaan sabun biasa dengan air yang mengalir untuk menjaga
kebersihan tangan dari virus.
Buku panduan
lebih lengkap dapat di download gratis, disini "Fikih Pandemi Beribadah diMasa Wabah"
No comments:
Post a Comment