Download Gratis Buku Fiqih Pandemi Beribadah di Masa Wabah - Inovasi Merdeka Belajar

Breaking

Inovasi Merdeka Belajar

INOVASI MERDEKA BELAJAR

Friday, 24 April 2020

Download Gratis Buku Fiqih Pandemi Beribadah di Masa Wabah


FIQIH PANDEMI BERIBADAH DI MASA WABAH

A. SHALAT JUMAT 
a. Argumen Mengganti Jumatan dengan Shalat Dhuhur di Rumah
Melaksanakan shalat Jumat bagi umat Islam yang berjenis kelamin laki-laki, baligh, berakal, sehat (tidak sakit atau tidak terhalang uzur), muqim (bukan dalam perjalanan) hukumnya fardhu ‘ain. Ketika ada uzur seperti sakit, hujan lebat, ataupun pandemi maka kewajiban shalat Jumat gugur. Terkait merebaknya Covid-19, diharamkan bagi yang terpapar Covid-19 menghadiri shalat Jumat (termasuk shalat jamaah) dengan dalil hadits, “Jangan yang sakit bercampur-baur dengan yang sehat” (HR. al-Bukhari & Muslim). 

Hadits lain, “Jika kalian mendengar kabar tentang merebaknya wabah Tha’un di sebuah wilayah,  janganlah kamu memasukinya. Dan, jika kalian tengah berada di dalamnya, maka janganlah kamu keluar darinya”. (HR. al-Bukhari & Muslim). Bagi yang berhalangan shalat Jumat, ia menggantinya dengan shalat dhuhur empat rakaat. Adapun menggantinya dengan shalat Jumat di rumah itu tidak dibolehkan dengan pertimbangan bahwa tujuan shalat Jumat adalah berkumpulnya banyak orang di sebuah tempat (masjid), sebagaimana makna semantik dari kata jum’ah yang berarti “berkumpulnya banyak orang” (ijtima’ alnas). Jumatan di rumah juga tidak dibolehkan menurut Imam Abu Hanifah karena rumah bukanlah tempat umum. Imam Malik juga tidak membolehkan jumatan di rumah dengan mensyaratkan jumatan harus di masjid. Imam al-Syaf i’i dan Imam Ahmad juga tidak membolehkan jumatan di rumah karena mensyaratkan jumlah yang hadir minimal 40 orang yang berkategori wajib jumatan. Dengan begitu, yang berhalangan shalat Jumat karena ada uzur seperti Covid-19 Menggantinya dengan shalat dhuhur empat rakaat di rumah. Pahalanya sama dengan pahala shalat Jumat. Dalilnya adalah hadits, “Jika seorang hamba tertimpa sakit, atau tengah bepergian, maka ia dicatat memperoleh (ganjaran) serupa ketika ia melakukannya dalam kondisi muqim dan sehat”. (HR. al-Bukhari). 

b. Meninggalkan Shalat Jumat Berkali-kali
Selama Merebaknya Pandemi Tidak jumatan bagi yang wajib Jumat tanpa uzur yang dibenarkan oleh syariat adalah tergolong dosa. Sejumlah riwayat hadits menyebutkan tentang itu, di antaranya “Siapa yang meninggalkan tiga kali shalat jumat karena meremehkan, niscaya Allah SWT menutup hatinya”. (HR. alTurmudzi, al-Thabarani, dan al-Daruquthni). Hadits lain menyebutkan, “Siapa yang meninggalkan shalat Jumat tiga kali tanpa uzur, niscaya ia tergolong orang munafiq” (HR. al-Thabarani).Beribadah di Masa Wabah redaksi kedua hadits tersebut terutama pada kata tahawunan biha dan bila udzr. 

Keduanya menggariskan bahwa meninggalkan shalat Jumat yang dimaksudkan adalah karena “meremehkan” dan “tanpa uzur”. Ketika tidak jumatan bukan karena meremehkan atau karena adanya uzur, maka itu bukan yang dimaksud dalam hadits tersebut. Beberapa uzur yang membolehkan tidak jumatan adalah hujan lebat yang sekiranya dapat membasahi pakaiannya dan menghalanginya melakukan shalat, salju, cuaca yang sangat dingin, sakit yang menyulitkannya ikut berjamaah di masjid, kekhawatiran adanya gangguan keselamatan jiwa, kehormatan diri, dan harta bendanya jika ia ikut jumatan. Covid19 tergolong salah satu uzur karena kekhawatiran menulari atau tertular virusnya ketika ikut jumatan yang notabene mengharuskan dilaksanakan berjamaah. Jangankan tiga kali, lebih dari itu pun jika memang kondisi merebaknya Covid-19 belum _berubah ke situasi yang aman, maka tidak melaksanakan jumatan diganti dengan shalat dhuhur empat rakaat di rumah masingmasing. Ini adalah keringanan atau dispensasi (rukhshah) dalam syariat Islam jika terdapat uzur

B. SHALAT DI MASJID
a. Azan Shalat Rawatib dari Masjid
Pada dasarnya, mengumandangkan azan dan iqamah merupakan syiar Islam, di samping sebagai pemberitahuan tanda masuknya waktu shalat fardhu bagi umat Islam. Hukum dasarnya adalah sunnah. Bahkan, menurut Mazhab al-Syafi’i dan Hanbali, azan dan iqamah pun dianjurkan ketika hendak shalat sendirian (munfarid), meski dengan suara pelan yang cukup didengarkan oleh diri kita sendiri. Persoalannya adalah bagaimana mengumandangkan azan di saat adanya pandemi semisal Covid-19 saat ini, di mana terdapat imbauan dari Pemerintah Beribadah di Masa Wabah Majelis Ulama Indonesia (MUI) atas masukan dari ahli kesehatan untuk menerapkan pengaturan jarak fisik ataupun sosial (physical/ social distancing) agar dapat memutus rantai penyebaran Covid-19. 

Di satu sisi, kumandang azan adalah panggilan untuk shalat berjamaah (hayya ‘ala shalah). Di lain sisi, kita dilarang berjamaah di masjid karena tentu akan mengumpulkan banyak orang yang melanggar penerapan physical distancing. Sebenarnya, bagian tertentu di lafal azan pada masa pandemi dapat saja berubah, misalnya lafal “hayya ala shalah” diganti dengan redaksi shallu fi buyutikum atau shallu fi rihalikum yang artinya “shalatlah di rumah atau kediaman kalian”, sebagaimana diriwayatkan sahabat Ibn ‘Abbas. Adapun sahabat Ibn ‘Umar mengumandangkan azan sebagaimana biasanya kemudian menambahkan dengan lafal shallu fi buyutikum atau shallu fi rihalikum di akhir azan.

Tentu saja, perlu pemakluman kepada masyarakat tentang ini secara cermat. Kontroversi alias komentar ketidaksetujuan dari yang belum mengetahui kebolehan azan seperti ini akan muncul. Perlu pemakluman juga bahwa kumandang azan dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti ini hanya berfungsi sebagai penanda masuknya waktu, bukan panggilan untuk berjamaah di masjid. Karena tujuan utama penambahan lafal demikian adalah agar tetap shalat di rumah, masyarakat atau jamaah masjid sekitar yang sudah memahami dan patuh untuk tidak shalat berjamaah di masjid, azan tetap dikumandangkan seperti biasanya tanpa perubahan ataupun penambahan lafal seperti di atas. Kita diminta untuk shalat di rumah masing-masing secara berjamaah dengan anggota keluarga. Dalam kondisi darurat seperti ini, kebiasaan berjamaah dan niat tulus kita untuk shalat berjamaah di masjid akan dihitung berjamaah di masjid meski kita hanya melakukannya di rumah.

b. Shalat Berjamaah di Masjid
 Pada dasarnya, hukum dasar shalat berjamaah adalah sunnah mu’akkadah. Adapun menjaga jiwa dari tertularnya virus yang mematikan hukumnya wajib. Memprioritaskan yang wajib daripada yang sunnah adalah lebih baik. Jika ada yang tetap melaksanakan shalat berjamaah di masjid dengan jarak makmum berjauhan dengan niat menghindari kontak fisik, itu dapat mengurangi keutamaan shalat jamaah kita. Shalat berjamaah mensyaratkan rapih dan rapatnya shaf (taswiyah al-shufuf). Ulama Hanaf i, Maliki, Syaf i’i, dan Hanbali menyatakan hukum taswiyah shufuf adalah mustahab, bukan wajib, sehingga sehingga meninggalkan kerapihan dan rapatnya shaf dalam shalat jamaah tidak membatalkan shalat. 

Salah satu argumentasinya adalah lafal hadits “kerapihan shaf adalah bagian dari _kesempurnaan shalat” (HR. al-Bukhari). Kata tamam yang berarti “kesempurnaan” adalah bersifat tambahan, di luar dari yang semestinya, sehingga tidak membatalkan shalat jika meninggalkannya.Meski ada ulama yang membolehkan shaf jamaah yang renggang dalam kondisi darurat, namun sikap hati-hati kita harus lebih diutamakan. Banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan semisal belum adanya jaminan siapa yang sudah atau tidak tertular dari jamaah yang hadir, dan adanya pengidap yang tanpa gejala, dan selainnya. Kita perlu memahami dengan baik maksud hadits “Hindarilah wabah penyakit seperti larimu (menghindari) kejaran macan” (HR. al-Bukhari). Kita diminta menghindari semaksimal secara serius penyakit, terlebih virus Covid-19 yang sangat mudah menular dan mematikan ini. Hadits lain menyebutkan “Bagi yang makan bawang merah atau bawang putih, hendaknya ia menjauhi kami atau menjauhi masjid kami” (Muttafaq ‘Alaih). Maksudnya, bukan makan bawang merah atau bawang putih yang terlarang, tetapi baunya yang dapat mengganggu jamaah yang lain.

c. Menutup Masjid
Di sejumlah negara, pemerintah setempat atas masukan ulama mengimbau menutup masjid untuk menghindari penyebaran Covid-19. Tentu saja, kebijakan tersebut tidak bermaksud merendahkan wibawa masjid sebagai rumah Allah SWT dan tempat ibadah umat Islam, apalagi menstigma masjid sebagai tempat penyebaran virus, karena jamaahnya berwudhu sebelum memasukinya, kebersihannya terjaga, dan selainnya. Poinnya bukanlah melarang shalat ataupun beribadah di masjid, tetapi mencegah berkumpulnya banyak orang ataupun menghindari kontak fisik di masa merebaknya pandemik Covid-19 ini. Ini sejalan dengan hadits “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat” (HR_Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah). Rasulullah SAW juga bersabda, “Siapapun yang mendengar seruan, tidak ada yang bisa mencegahnya kecuali uzur. Seseorang bertanya apa aja uzur itu? Rasulullah menjawab, “Rasa takut dan sakit” (HR. Abu Dawud). Merujuk pada sejarah, Masjidil Haram pernah ditutup pada 827 H akibat wabah yang melanda Mekkah yang menelan korban jiwa sebanyak 1.700. Ibn Hajar al-‘Asqalani juga mencatat persitiwa merebaknya wabah Tha’un di Damaskus pada 749 H yang mengkritisi praktik warga dan pemuka masyarakat yang berkumpul untuk melaksanakan doa bersama karena justeru yang terjangkiti wabah Tha’un pun meningkat tajam setelahnya. d. Qunut Nazilah Secara semantik, qunut berarti “ketaatan”, “shalat”, “diam”, “berdiri”, dan “berdoa”.

Dalam arti “doa” inilah yang lebih dikenal. Secara syariat, qunut berarti “nama dari sebuah doa yang dibacakan di waktu berdiri dalam shalat pada waktu tertentu”. Adapun arti nazilah yaitu musibah yang menimpa, seperti adanya pandemi, kekeringan, bahaya yang meliputi kaum Muslimin, baik secara keseluruhan maupun di kawasan tertentu. Pembacaan doa qunut nazilah di tengah merebaknya Covid-19 yang menyerang banyak kaum muslimin di banyak negara sangat baik untuk dilaksanakan setiap waktu shalat, terlebih telah dianjurkan oleh MUI atas pertimbangan Covid-19 ini sudah masuk kategori musibah besar yang menimpa kaum Muslimin. 

Qunut Nazilah pertama kali dicontohkan Rasulullah SAW setelah peristiwa pembantaian 70 sahabat dari kalangan Anshar yang diutus ke Najd di Bi’r Ma’unah tahun IV H. Hukumnya Sunnah menurut Mazhab Syaf i’i. Dalilnya adalah hadits,“Sungguh Rasulullah SAW membaca doa qunut (nazilah) selama sebulan karena (tragedi) terbunuhnya para Qurra’ (ahli alQur’an)”. (HR. al-Bukhari & Muslim). Adapun bacaan doa qunut nazilah tidak ada bacaan tertentu, sehingga dapat dibacakan doa sesuai konteksnya. Namun, lebih baik jika membaca doa qunut shalat subuh yang populer. Dalam shalat berjamaah, baik shalat dengan bacaan jahr (subuh, magrib, dan isya) maupun sirr (zhuhur dan ashar) imam membaca doa qunut nazilah secara jahr (suara yang terdengar), sedangkan makmum mengaminkan tanpa perlu membaca doa qunut secara mandiri.[] e. Mengenakan Masker dalam Shalat Dalam shalat, terutama saat sujud, terdapat tujuh anggota badan yang merapat ke lantai tempat shalat. Ketujuh anggota badan tersebut adalah dahi termasuk hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua jari kaki. Terkait hidung, ada yang memasukkannya sebagai bagian dari dahi dan ada juga yang tidak memasukkannya. Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ menyatakan makruh shalat menggunakan litsam (atau bahasa kekinian kimamah/ masker), dengan dalil bahwa “Rasulullah SAW melarang seseorang shalat dengan menutup mulut” (HR. Abu Daud). 

Dalam situasi pandemi Covid-19, penggunaan masker sangat penting dilakukan untuk mencegah masuknya virus ke dalam mulut dan hidung. Sementara itu, lantai tempat shalat terkadang tidak bisa dipastikan apakah terdapat virus di atasnya atau tidak. Dalam kaidah fiqhiyah ditegaskan bahwa pencegahan bahaya terhadap bahaya lebih diprioritaskan. Atas dasar itu, penggunaan masker saat shalat di tempat yang tidak bisa dipastikan steril dapat dibenarkan. Kondisi darurat membolehkan penggunaannya. Adapun jika dipastikan bahwa tempat shalat tersebut steril, maka penggunaan masker tidak perlu dan tidak dianjurkan. Karena masker tidak termasuk hiasan (zinah) yang dianjurkan saat menghadiri atau melaksanakan shalat.

Menggunakan Hand Sanitizer Hand sanitizer adalah cairan atau gel yang biasa digunakan untuk mengurangi agen infeksi pada tangan. Penggunaan hand sanitizer merupakan opsi karena cara kerjanya mirip dengan mencuci tangan dengan sabun. Kedua cara ini sangat dianjurkan untuk menghindari paparan virus, bakteri, dan kuman. Salah satu bahan aktif yang digunakan dalam sanitizer adalah alkohol. Terdapat beberapa kalangan yang mempertanyakan hukum shalat dengan wewangian, termasuk hand sanitizer, yang mengandung alkohol. Ulama berbeda pendapat tentang alkohol, sebagian menganalogikan (qiyas) dengan khamr, sebagian lainnya tidak menganalogikannya demikian. 

Kenajisan khamr juga diperselisihkan ulama. AlSyawkani menyatakan bukan najis. Dalam hal ini, MUI sudah memberikan fatwa pada tahun 2009 bahwa pada prinsipnya hukum alkohol bergantung pada proses pembuatannya. Jika dibuat atau dihasilkan dari bahan-bahan najis, maka hukumnya haram untuk digunakan. Adapun jika terbuat dari bahan-bahan yang bukan najis, maka boleh digunakan. Atas dasar itu, dibolehkan menggunakan hand sanitizer saat hendak melaksanakan shalat. Bahkan sangat dianjurkan jika terdapat kekhawatiran adanya virus yang menempel di tangan. Hanya saja, penggunaan yang berlebihan terhadap sanitizer ini tidak dianjurkan karena memiliki efek samping pada kulit. Kebanyakan pakar lebih mengutamakan penggunaan sabun biasa dengan air yang mengalir untuk menjaga kebersihan tangan dari virus. 

Buku panduan lebih lengkap dapat di download gratis, disini "Fikih Pandemi Beribadah diMasa Wabah" 

No comments:

Post a Comment